
- Select a language for the TTS:
- Indonesian Female
- Indonesian Male
- Language selected: (auto detect) - ID
Play all audios:
_Artikel ini ditulis bersama Adeline Lacroix, rekan kerja Fabienne Cazalis. Adeline baru-baru ini didiagnosis mengalami sindrom Asperger. Adeline adalah seorang mahasiswa magister psikologi
yang sedang meneliti referensi ilmiah tentang karakteristik perempuan dengan “high functioning autism” atau autisme berfungsi banyak._ ------------------------- Sebut saja namanya Sophie.
Deskripsi tentangnya di bawah ini boleh jadi menggambarkan para perempuan yang berada dalam spektrum autisme tanpa menyadarinya. Karena mereka pintar dan terbiasa menanggulangi hambatan
komunikasi yang tidak mereka sadari, mereka tidak didiagnosis menyandang autisme karena prosedur diagnosis yang inefisien. Hari Peduli Autis Sedunia diperingati setiap tanggal 2 April, dan
pada 2018 fokusnya adalah pemberdayaan perempuan dewasa dan anak-anak perempuan dengan autisme. Masih banyak upaya yang perlu dilakukan: berbagai studi menunjukkan, ada satu perempuan dari
sembilan laki-laki yang didiagnosis dengan _high functioning autism_, yakni autisme tanpa ketidakmampuan intelektual. Sebagai perbandingan, ada satu perempuan dari setiap empat laki-laki
terdiagnosis dengan _low-functioning autism_ yang lebih mudah dikenali. Hari ini, Sophie, yang tinggal di Prancis, ada janji wawancara kerja. Ia memilin-milin rambut dengan gugup,
sebagaimana orang sedang cemas wawancara. Tapi Sophie berbeda. Ia sebenarnya sedang di ambang serangan panik. Di umurnya yang 27 tahun, ia baru kehilangan pekerjaan sebagai tenaga pemasaran
akibat kesalahan berulang di mesin kasir. Ini sudah kejadian kedelapan dalam tiga tahun terakhir. BELAJAR AKUNTANSI SENDIRI DI RUMAH Untungnya, sang pewawancara lebih memilih membahas masa
kuliah Sophie ketimbang riwayat pekerjaannya. Sophie pun merasa lega. Ia menjelaskan tentang tesisnya yakni pemodelan meteorologi. Tetapi penjelasan itu dipotong. Sophie ditanya mengapa ia
melamar pekerjaan sebagai asisten pembukuan temporer, tanpa memiliki pengalaman atau pelatihan sekali pun. Walau jantungnya berdebar, Sophie berhasil menjelaskan dengan tenang bahwa ia
belajar akuntansi sendiri di rumah pada malam hari. Sophie tidak pandai menerka pikiran orang, tapi ia tahu sang pewawancara merasa Sophie berbohong. Sophie pun merasa makin lemah. Ia tak
mengerti apa yang diucapkan sang pewawancara. Sepuluh menit kemudian, Sophie sudah berada di jalanan dan tidak ingat bagaimana wawancara itu berakhir. Badannya gemetar. Ditahannya air mata
jangan sampai jatuh. Ia mengutuk dirinya sendiri mengapa bisa demikian bodoh dan menyedihkan. Sophie naik ke dalam bus yang sesak, terhimpit di antara wangi parfum penumpang lain yang
mengerubunginya. Ketika bus mengerem mendadak, Sophie kehilangan keseimbangan dan menabrak penumpang lain. Ia meminta maaf dan buru-buru turun dari bus. Saking terburu-burunya, Sophie merasa
tidak seimbang dan jatuh ke trotoar. “Aku harus bangun, semua orang melihatku,” katanya dalam hati. Tetapi tubuh Sophie menolak bekerja sama. Ia tidak mampu lagi melihat dengan sempurna dan
tidak sadar bahwa air matanya sudah menghalangi pandangan. Akhirnya seseorang menelepon ambulans. Sophie terbangun di fasilitas psikiatri. Ia akan didiagnosis mempunyai gangguan psikologis
dan diberi obat-obatan yang takkan menyelesaikan satu pun masalahnya. CARA BERPIKIR YANG UNIK, INGIN KESENDIRIAN, HASRAT YANG MENGGELORA Kehidupan Sophie di atas banyak dialami perempuan
autis namun tidak terdiagnosis karena mereka berada di spektrum dengan gejala-gejala yang tidak terlalu kentara. Sophie mungkin punya kemampuan kognitif yang mengesankan, tetapi ia sendiri
tidak sadar bakatnya. Ia terjebak dalam lingkungan sosial yang menyoroti jalan pikirannya yang tak biasa, atau keinginannya menyendiri, atau hasratnya terhadap suatu hal yang menggelora.
Sophie sejak lama sadar bahwa semua hal itu dipandang sebagai sebuah kekurangan. Andai saja Sophie didiagnosis dengan benar: _high-functioning autism_, ia akan mengerti cara pikirannya
bekerja. Ia bisa bertemu orang dewasa autis yang lain serta belajar dari pengalaman mereka untuk menolongnya mengatasi kesulitan. Autisme ditandai dengan kesulitan sosial dan komunikasi,
ketertarikan spesifik terhadap sebuah hal (dalam kasus Sophie, pemodelan meteorologi), dan perilaku tertentu. Ada pula perbedaan persepsi, seperti kepekaan tingkat tinggi terhadap suara atau
bau, atau justru kepekaan rendah terhadap rasa sakit. Autisme diperkirakan berdampak pada satu dari 100 orang. Tujuh puluh persen orang dengan autisme memiliki kecerdasan yang normal atau
superior. Bentuk autisme ini kerap disebut _high functioning autism_, sebagaimana tercantum dalam versi terbaru “kitab suci” gangguan psikiatris DSM 5 (Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders). Dalam versi terbaru ini, semua rujukan ke kategori lama sudah dihapus, termasuk sindrom Asperger. Istilah Asperger masih digunakan di beberapa negara, meski semua tipe
autisme sekarang dikelompokkan ke dalam satu spektrum, dan diklasifikasikan menurut keparahan gejalanya. DUKUNGAN YANG TEPAT MELALUI SEKOLAH Idealnya, Sophie sudah terdiagnosis sejak kecil
sehingga menerima manfaat dukungan semasa sekolah, seperti yang diwajibkan dalam hukum Prancis dan negara lain. Dukungan ini akan membuat Sophie berkurang kerentanannya, serta mampu
terlindungi dari perisakan di halaman sekolah. Sophie pun bisa belajar dengan metode yang disesuaikan dengan cara pikirnya. Ketika lulus sekolah, Sophie akan punya akses ke hak-hak pekerja,
seperti status pekerja cacat, yang menolongnya mendapatkan pekerjaan yang sudah diadaptasi. Hidupnya akan jauh lebih sederhana dan damai. ------------------------- _BACA JUGA: Lima hal yang
perlu dipahami tentang skizofrenia_ ------------------------- Tetapi masalah Sophie berlipat ganda. Selain autis, dia juga perempuan. Mendapatkan diagnosis autisme tepat bagi perempuan jauh
lebih sulit ketimbang laki-laki. HASIL TES YANG MIRIP PADA ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN Untuk mendiagnosis gangguan spektrum autisme (ASD), dokter dan psikolog mengevaluasi kriteria
kuantitatif menggunakan tes dan kuesioner. Selain itu, mereka juga menggunakan kriteria kualitatif seperti minat, gerakan tertentu, kesulitan pada kontak mata, bahasa, dan keterasingan.
Hasil pada anak perempuan mirip dengan anak laki-laki, tetapi manifestasi kondisi mereka secara klinis berbeda, paling tidak ketika si anak sudah punya kemampuan berbahasa. Dengan strategi
meniru secara sosial, contohnya, anak perempuan yang autis tidak terlalu kesusahan untuk berteman ketimbang anak laki-laki yang autis; mereka pun punya minat yang “lebih biasa” (misalnya
kuda, dibandingkan peta kereta bawah tanah). Mereka lebih rentan terhadap gangguan kecemasan yang tidak terlalu terlihat. Mereka juga lebih piawai menyembunyikan kebiasaan tertentu. Dengan
kata lain, autisme mereka kurang terlihat, sehingga gejalanya pun kurang kentara di mata keluarga, guru dan dokter. Perbedaan ini dapat dijelaskan dari segi biologi dan lingkungan. Secara
alami, ada hipotesis bahwa anak perempuan punya kemampuan sosial yang lebih baik dan lebih cakap dalam pengasuhan, sehingga lebih tertarik pada benda hidup (kucing, selebritas, bunga)
daripada benda mati (mobil, robot, dan kereta api). Dari sisi lingkungan, anak perempuan dan laki-laki dibesarkan berbeda. Kebiasaan yang dianggap normal secara sosial juga beda. Meski anak
autis cenderung menolak fenomena ini, tekanan yang ada cukup kuat untuk pada akhirnya mempengaruhi kebiasaan mereka, seperti yang terjadi pada Gunilla Gerland. Saat masih kecil, perempuan
Swedia ini tidak menyukai cincin atau gelang logam karena tidak suka rasanya saat terkena kulit. Tapi ia belajar untuk tetap menerima hadiah perhiasan, bahkan mengucapkan terima kasih kepada
pemberi hadiah, sebelum kemudian menumpuk perhiasan itu ke dalam kotak secepat mungkin. TERLATIH DALAM SENI KAMUFLASE Ketika anak perempuan yang autis beranjak dewasa, jurang antara kondisi
mereka dan kondisi anak laki-laki autis makin lebar. Sebagai orang dewasa, beberapa perempuan autis bisa amat terlatih dalam seni kamuflase, yang menjelaskan pemakaian istilah “cacat tak
terlihat” untuk menjelaskan tipe-tipe tertentu dari _high functioning autism_. Semakin hari semakin banyak perempuan yang belakangan menyadari kondisi mereka dan berbagi pengalaman. Sejak
September 2016, Francophone Association of Autistic Women (Association francophone des femmes autistes, atau AFFA) telah berjuang agar tanda-tanda autisme pada perempuan lebih mudah
dikenali. Di Prancis, masyarakat mendorong adanya dialog antara peneliti dan perempuan autis. KUESIONER SPESIFIK BAGI ANAK PEREMPUAN Sejarahnya, para tokoh utama dalam riset autisme percaya
bahwa ada tanda-tanda signifikan pada perempuan. Hans Asperger (yang namanya dijadikan nama sindrom) mengusulkan ide ini sejak 1944. Psikiater Inggris Lorna Wing mengusulkannya pada 1981.
Tetapi baru beberapa tahun belakanganlah komunitas ilmiah benar-benar memeriksa bukti-buktinya. Beberapa peneliti berusaha untuk memahami lebih baik lagi karakteristik spesifik autisme pada
perempuan. Mulai awal tahun ini, sukarelawan diminta berpartisipasi dalam studi “autisme pada perempuan” oleh Laurent Mottron, profesor psikiatri di Universitas Montreal (Kanada), dan
Pauline Duret, kandidat doktor bidang neurosains, dengan kolaborasi bersama saya dan Adeline Lacroix, yang bekerja di École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS) di Paris. Adeline
Lacroix adalah mahasiswa magister psikologi yang didiagnosis menyandang autisme. Penelitian lain juga berusaha mengadaptasi alat-alat diagnosis bagi subjek perempuan. Sebuah tim yang terdiri
dari ilmuwan Australia Sarah Ormond, Charlotte Brownlow, Michelle Garnett, dan Tony Attwood, dan ilmuwan Polandia Agnieszka Rynkiewicz, saat ini tengah menyempurnakan kuesioner spesifik
bagi anak perempuan, Q-ASC (_“Questionnaire for autism spectrum conditions”_). Hasil kerja mereka dipaparkan pada Mei 2017 di sebuah konferensi di San Francisco. Walaupun ada secercah
harapan akan hasil yang menarik, riset saat ini tentang karakter spesifik autisme pada perempuan justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Tetapi kebingungan itu bisa
dianggap sebagai langkah yang diperlukan untuk mendapatkan pengetahuan, sepanjang perempuan yang menyandang autisme dapat berkontribusi kepada riset dan berbagi pandangan mereka mengenai ke
mana arah riset harus dibawa. Warga biasa juga bisa mengusahakan agar perempuan autis mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki. Dengan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai
perbedaan bentuk autisme, setiap orang dapat berkontribusi bagi dunia di mana anak-anak dan orang dewasa autis menemukan tempat mereka, serta melawan pengucilan dengan menciptakan masyarakat
inklusif.