Hati-hati mengusung kampanye keberagaman

feature-image

Play all audios:

Loading...

Belakangan ini, para entitas bisnis makin gencar menunjukkan semangat keberagaman. Tetapi menurut hasil penelitian tim penulis ini dapat berdampak negatif jika konsumen merasakan adanya


tokenisme. Tokenisme adalah praktik membuat upaya yang dangkal atau simbolis untuk menjadi inklusif, seringkali dengan melibatkan sejumlah kecil individu dari kelompok yang kurang terwakili


untuk memberikan kesan keberagaman tanpa melakukan perubahan yang berarti. Saya adalah asisten dosen ilmu marketing yang fokus dalam platform digital dan perilaku konsumen. Penelitian ini


menitikberatkan pada inisiatif DEI (_diversity_, _equity_, dan _inclusion_) yang dilakukan oleh merek di media sosial. Saya sangat tertarik mengulas bagaimana merek menggunakan instrumen


_marketing influencer_ dan representasi minoritas. _Influencer_ adalah seseorang yang telah membangun reputasinya sehingga memiliki pengikut berjumlah besar di media sosial. Mereka dapat


mempengaruhi pendapat atau perilaku pengikut mereka. Entitas bisnis kemudian bermitra dengan orang-orang ini untuk mempromosikan produk atau layanan mereka kepada para pengikut _influencer_.


Berikut adalah contoh dari aktivitas marketing _influencer_ Thamarr Guerrier (minoritas) ketika mempromosikan merek _fashion_ Old Navy: Pemasaran _influencer_ telah menjadi salah satu


saluran utama bagi merek dan konsumen untuk berinteraksi dengan publik. Salah satu upaya merek yang perlu diperhatikan dalam menjalankan komitmennya terhadap DEI yaitu merepresentasikan


minoritas di antara _influencer_. Untuk mendapat hasil ulasan tentang bagaimana konsumen merespons tren ini, saya dan rekan-rekan saya, Amy Pei dan Keran Zhao mengumpulkan data dari platform


X (sebelumnya Twitter). Dataset kami mencakup konten bersponsor dari _sampling_ 150 merek periode tahun 2018 dan 2022 termasuk rincian tentang _influencer_ dan reaksi konsumen. Hasilnya,


rangkaian kampanye bisnis suatu merek dengan tingkat representasi _influencer_ minoritas yang sangat rendah atau sangat tinggi mendapat perhatian dan interaksi konsumen yang lebih tinggi.


Sementara itu, merek dengan tingkat representasi minoritas sedang mengalami penurunan keterlibatan. Efek ini terutama terlihat pada perusahaan besar dan yang menunjukkan komitmen vokal


sebelumnya terhadap inisiatif DEI. Dengan kata lain, kami mengemukakan output penelitian berbentuk kurva U yang terdiri dari intensitas keterlibatan _influencer_ minoritas tingkat rendah


(berdampak positif), tingkat menengah (berdampak negatif), dan tingkat tinggi (berdampak positif). Sebaliknya, kami menemukan bahwa representasi minoritas yang tinggi meyakinkan konsumen


tentang komitmen dan usaha nyata sebuah merek. Kami percaya ini mungkin berasal dari persepsi tokenisme tingkat menengah konsumen. KENAPA HAL INI PENTING Ketika merek menunjukkan dukungan


mereka terhadap inisiatif keberagaman di media sosial, hal ini tidak selalu berhasil menarik perhatian konsumen. Faktanya, kebijakan DEI telah menjadi sumber kontroversi bagi banyak merek,


termasuk Chick-fil-A, Disney, dan Bud Light. Karena inisiatif DEI justru sering memicu reaksi beragam dari konsumen. Penelitian kami memberikan petunjuk untuk memahami penyebabnya. DEI


adalah isu sensitif sebab konsumen menghargai komitmen yang tulus. Penelitian ini menunjukkan bahwa merek—terutama yang besar—harus mengukuhkan komitmennya ketimbang bersikap


setengah-setengah. Temuan kami mengungkapkan bahwa konsumen cukup reaktif terhadap upaya keberagaman ketika sebuah merek tertentu telah menyatakan komitmennya terhadap DEI. Karena itulah


merek harus berhati-hati terhadap reaksi publik yang berlebihan jika mereka tidak melakukan tindakan nyata dengan segera. BANYAK FAKTA YANG BELUM TERUNGKAP Melansir penelitian sebelumnya,


terdapat fakta bahwa boikot konsumen seringnya bersifat sementara. Namun, boikot Bud Light, yang dipicu oleh penggunaan _influencer_ transgender untuk mempromosikan merek tersebut,


berlangsung selama delapan bulan. Polarisasi politik di antara konsumen Bud Light dan kenyataan bahwa perusahaan tersebut menyalahi aturan dengan banyak mengedarkan bir ringan di pasaran


menjadi basis hipotesis perbedaan perlakuan konsumen terhadap kedua merek tersebut. Faktor kunci lainnya bisa juga menyoal tentang visibilitas konsumsi. Minum bir di area publik adalah hal


yang lumrah (di Amerika Serikat). Karena itu memboikotnya akan terlihat secara jelas pesannya di mata publik. Hipotesis-hipotesis ini tentunya perlu dibuktikan secara akademis. Alhasil,


penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami bagaimana konsumen merespons komitmen keberagaman dari sebuah merek.