Dampak positif dan negatif pemberian izin pihak swasta untuk impor vaksin secara mandiri

feature-image

Play all audios:

Loading...

Baru-baru ini para pengusaha mengusulkan pada pemerintah agar bisa melakukan impor vaksin COVID-19 mandiri untuk tidak hanya menjalankan program vaksinasi yang akan dilakukan terhadap


karyawan mereka tapi juga alasan untuk menjualnya ke publik. Para pengusaha berdalih jika ini dilakukan demi mempercepat gerak roda perekonomian Indonesia. Untuk itu kami bertanya kepada dua


peneliti untuk mengetahui apa yang bisa terjadi jika impor vaksin mandiri ini terlaksana. BERPOTENSI SEDIKIT MEMPERCEPAT JANGKAUAN VAKSINASI Andree Surianta, peneliti dari Center for


Indonesian Policy Studies (CIPS), mengungkapkan dampak positif yang terlihat dengan melibatkan swasta adalah bisa mengurangi beban anggaran negara sambil melipatgandakan jangkauan vaksinasi.


“Jika distribusi hanya melibatkan puskesmas (pusat kesehatan masyarakat), rumah sakit pemerintah, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka penambahan kapasitas swasta tentu bisa memperluas


dan mempercepat,” ujar Andree. Semakin banyak yang divaksinasi dan secepat mungkin pelaksanaannya, maka jumlah pasien yang perlu perawatan rumah sakit akan menurun. Paling tidak, ini akan


mengurangi beban biaya pengobatan COVID-19 yang ditanggung oleh Kementerian Kesehatan, ujarnya. Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk mengobati satu pasien COVID-19 di Indonesia adalah Rp


184 juta, dengan rata-rata lama perawatan 16 hari rawat inap. Namun Andree juga menambahkan bahwa sebaiknya pemerintah jangan mencoba menghemat dengan mengurangi pemesanan vaksin ketika


vaksin mandiri sudah diizinkan. Pertimbangannya adalah belum pastinya permintaan vaksin mandiri dan pasokan vaksin global. Jika vaksin mandiri ini hanya untuk karyawan perusahaan, potensi


permintaan adalah sekitar 120 juta jiwa menurut data terbaru pada tahun 2018. Kelihatannya cukup signifikan tetapi perlu diingat bahwa ada 107 juta tenaga kerja yang bergabung di usaha mikro


dan menjadi wiraswasta. Mereka tentu saja tidak memiliki akses terhadap vaksin yang disediakan perusahaan. Jika bergantung pada perusahaan besar saja, maka kontribusi vaksin mandiri kurang


dari 4 juta pekerja. MENIMBULKAN KETIMPANGAN DI MASYARAKAT Sementara, Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan jika


impor vaksin mandiri ini terjadi dan bahkan bisa dijual ke publik maka berpotensi akan menghasilkan ketimpangan di masyarakat. “Efek negatifnya vaksin mandiri adalah hanya menguntungkan


kelas menengah atas,” ujar Bhima. Beberapa perusahaan mengusulkan untuk menjual vaksin untuk umum dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah selain memberikannya kepada karyawan


mereka. Tentunya jika ini terjadi, maka hanya kalangan menengah ke atas yang memiliki daya beli bisa membeli vaksin dengan tingkat efikasi atau efektivitas yang tinggi. Sementara kalangan


menengah ke bawah hanya bisa menunggu vaksin gratis dari pemerintah. “Imbasnya pencegahan pandemi ke kelas bawah akan lebih lambat dibanding kelas atas,” ujar Bhima. PEMERINTAH HARUS


MEMPERCEPAT VAKSINASI MASSAL Bhima menambahkan jika saat ini pemerintah seharusnya fokus dalam mempercepat program vaksinasi gratis agar menjangkau lebih banyak masyarakat. “Saya sedikit


kecewa melihat grafik distribusi vaksin ini flat atau stagnan,” kata Bhima. Jumlah penerima vaksin COVID-19, khususnya tenaga medis, dinilai masih rendah. Pada pekan kedua vaksinasi, baru


250 ribu tenaga kesehatan disuntik vaksin dari total target penerima 1,4 juta. Sementara Andree melihat dari sisi pasokan, pemerintah perlu memperhatikan pasokan vaksin yang dalam tahap awal


ini juga masih belum mulus. Antrean pemesanan vaksin COVID-19 cukup panjang sedangkan kapasitas produksi di Cina masih dalam proses peningkatan. Saat ini pemerintah sudah memesan vaksin


untuk 164 juta jiwa dengan opsi menambah 167 juta lagi jika diperlukan. Jadi pesanan pertama pun sebenarnya masih kurang dari target vaksinasi, yaitu minimal 181 juta orang. Menurut Andree


yang terpenting dalam program vaksinasi massal – baik gratis maupun berbayar – adalah bagaimana memastikan kekebalan populasi benar-benar tercapai karena tidak ada vaksin yang efektif 100%.


Selain memastikan pelaksanaan protokol kesehatan untuk terus menekan penularan, pemerintah juga perlu memantau tingkat kekebalan populasi secara berkala. Vaksin bisa mempercepat pengendalian


pandemi hanya jika kita tidak lengah dan terus melakukan pelaksanaan dan pemantauan berbagai kebijakan pengendalian pandemi secara konsisten. “Vaksinasi hanyalah salah satu alat


pengendalian pandemi. Jika berbagai kebijakan pengendalian pandemi yang sudah ada tidak dilaksanakan secara konsisten, maka keberadaan vaksin pun mungkin tidak terlalu berdampak terhadap


pemulihan ekonomi,” ujar Andree.