Budaya patriarki dan doktrin keagamaan berperan penting dorong perempuan terlibat aksi terorisme

feature-image

Play all audios:

Loading...

Kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan di Afghanistan dapat menjadi awal era baru terorisme di seluruh dunia dan juga di Asia Tenggara. Dalam beberapa tahun terakhir kita telah melihat


bagaimana perempuan kian terlibat dalam aksi terorisme. Perempuan dalam terorisme menjadi hal yang kompleks dan berlawanan dengan dunia terorisme yang bersifat ‘maskulin’. Berbagai


pertanyaan pun muncul. Apakah perempuan dapat menggantikan laki-laki dalam aksi terorisme? Mengapa dan bagaimana perempuan dapat terlibat dalam aksi terorisme? Di mana posisi perempuan dalam


dunia terorisme?. Satu hal yang pasti adalah perempuan memiliki peran penting dalam mendukung aksi terorisme. Laki-laki memang masih mendominasi dunia terorisme. Namun, 10% aksi terorisme


di Indonesia telah melibatkan perempuan. Pada 2009, Munfiatun (istri gembong teroris Noordin M. Top) dan Putri Munawaroh (istri terduga teroris Hadi Susilo) ditangkap karena melindungi


keberadaan suami mereka terkait dengan rangkaian aksi terorisme pada 2003, 2004, dan 2009. Pada 2016, Dian Yulia Novi menjadi perempuan pertama yang tertangkap sebagai calon pelaku bom bunuh


diri di Bogor. Lalu pada 2018, Puji Kuswati turut serta dalam aksi bom bunuh diri bersama suami dan anak-anaknya di Surabaya. Keterlibatan perempuan dalam rangkaian kasus tersebut masih


dibayangi oleh unsur patriarki dan doktrin agama. Dalam penelitian pada 2019, kami menemukan dua faktor utama yang mendasari keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme: budaya patriarki dan


faktor individu yang dipengaruhi oleh ideologi agama. BUDAYA PATRIARKI Dalam penelitian, kami menganalisis perilaku perempuan dalam aksi terorisme, khususnya pada peran bom bunuh diri dan


sebagai pelindung atau pendamping suami dalam melakukan aksi terorisme. Kedua peran tersebut memainkan penting dalam aksi terorisme. Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim yang


sangat kental dengan pemikiran konservatif terhadap budaya patriarki: laki-laki memegang kendali atas perempuan dan anak-anak. Sebagai hasil dari budaya patriarki dalam gerakan radikal,


perempuan dapat menjadi teroris atau pendukung teroris atas perintah, ajaran, atau pun persetujuan dari suami atau ayah, atau kerabat laki-laki mereka. Misalnya, terdapat pemikiran dari


Jemaah Islamiyah (JI) yang menjelaskan bahwa perempuan memiliki tiga peran penting, yaitu mematuhi suami, mematuhi ayah, dan menjadi ibu yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan


pendidikan anak-anaknya. Pada umumnya dalam dunia jihad, peran istri selalu mendukung seluruh kegiatan suami dalam perang. Termasuk menjadi pelindung untuk menjaga keselamatan suami, hingga


rela untuk mengorbankan dirinya sendiri sebagai bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada suami. Putri Munawaroh, misalnya, menolak menyerahkan dirinya pada saat tertangkap di rumahnya. Putri


yang pada saat itu dalam keadaan hamil bersedia untuk mengorbankan dirinya sebagai martir dan demi melindungi Hadi Susilo, suaminya, dan Noordin M.Top, kerabat suaminya. DOKTRIN KEAGAMAAN


Sebagian besar kasus perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia adalah mereka yang terlibat dalam ajaran ekstremis atau bagian dari kelompok Islam radikal. Perspektif feminis melihat


fundamentalisme agama sebagai ideologi yang mampu mengendalikan perempuan sebagai bentuk kontrol sosial, memperkuat hubungan patriarki, hanya mempercayai interpretasi ajarannya sebagai


satu-satunya kebenaran, dan menggunakan kekerasan dalam menerapkan ideologinya. Doktrin ideologi keagamaan radikal dapat menyebar ke mana saja dan kapan saja. Pada awal 2000, penggunaan


media sosial mempermudah kelompok radikal untuk menyebarkan ajaran seperti jihad dan doktrin keagamaan radikal lainnya. Ini membuka kesempatan bagi perempuan untuk mencari informasi terkait


dengan jihad dan memperdalam ajaran radikal lainnya. Sebagai individu, perempuan tentunya memiliki pengalaman dan alasan pribadi terkait dengan pendalaman keagamaan. Dian Yulia Novi mengaku


mendapatkan pendalaman keagamaan melalui konten media sosial dan meyakini bahwa dengan mengorbankan dirinya dalam aksi bom bunuh diri untuk dapat menyelamatkan dirinya sendiri dan


keluarganya dari hukuman Allah dan untuk meraih rida Allah. Selain itu, mereka juga mendapat doktrin keagamaan dari orang-orang terdekat, seperti suami dan kerabat dalam kelompok aktivitas


keagamaan. Dita Oepriarto, suami dari Puji Kuswati, misalnya, merupakan bagian dari anggota kelompok radikal dan dapat mempengaruhi serta mengajak istri dan anak-anaknya untuk melakukan


tindakan yang diyakini oleh ideologi kelompok tersebut. Bahkan, Puji kemudian termotivasi untuk melakukan “mati syahid” bersama anak-anaknya. Kekerabatan dalam kelompok keagamaan, juga dapat


mendorong motivasi perempuan untuk memperdalam ideologi radikal dan memfasilitasi aksi terorisme. PERGESERAN AKTOR AKSI TERORISME Terorisme bukan lagi hanya sekadar ‘milik’ kaum laki-laki,


tapi juga kaum perempuan, yang pada awalnya lebih dilekatkan pada hal-hal yang bersifat damai. Doktrin keagamaan yang bersifat radikal dan budaya patriarki menjadi faktor pendorong yang


sangat signifikan dalam memotivasi tindakan perempuan dalam aksi terorisme. Pengalaman setiap individu perempuan dalam melakukan aksi terorisme tentunya berbeda, namun kedua faktor tersebut


telah menjadi motivasi yang kuat bagi perempuan untuk melakukan aksi teror. Peran perempuan dalam aktivitas terorisme bisa jadi tidak menguntungkan bagi perempuan, tapi perempuan dihadapkan


pada situasi yang beririsan antara dirinya, pasangannya, keluarganya, serta pilihan sikapnya terhadap doktrin keagaamaan juga budaya patriarki yang mengungkungnya. Tindakan perempuan dalam


aksi terorisme masih lebih berat terkait pada posisi mereka dalam segenap situasi yang melingkupi dirinya sebagai penganut agama dan perempuan yang taat.