Bagaimana orang-orang aseksual menjalani hubungan romantis

feature-image

Play all audios:

Loading...

Meskipun diperkirakan 1% orang mengidentifikasi diri mereka sebagai aseksual – orientasi seksual yang sering didefinisikan sebagai absennya ketertarikan seksual – orang-orang aseksual tetap


relatif tidak kelihatan dan jarang diteliti. Karena alasan-alasan ini, mereka sering menjadi sasaran diskriminasi dan stereotip. Sebagai contoh, ada asumsi umum bahwa semua orang yang


aseksual pasti juga “aromantis” - bahwa mereka tidak tertarik untuk menjalin hubungan romantis atau tidak bisa melakukannya. Namun, hal itu jauh dari kebenaran. Aseksualitas ada dalam sebuah


spektrum, dan ada berbagai macam cara orang-orang yang termasuk kelompok ini memandang dan mengalami seksualitas dan percintaan. Dalam penelitian yang terbit tahun lalu yang saya lakukan


dengan beberapa rekan akademisi Michigan State University di Amerika Serikat (AS) dan juga beberapa rekan peneliti lain, kami menyurvei orang-orang dalam spektrum aseksual yang waktu itu


berada dalam hubungan romantis. Kami ingin mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana kelompok aseksual mengalami hubungan romantis dan mengangkat pengalaman mereka – yang banyak di


antaranya ternyata tidak jauh berbeda dengan pengalaman orang-orang di luar spektrum aseksual. SPEKTRUM SEKSUALITAS YANG SERING DIABAIKAN Di luar pekerjaan saya sebagai peneliti psikologi,


saya adalah seseorang yang termasuk dalam kelompok aseksual. Secara khusus, saya adalah seorang _gray-asexual_ heteroromantis: Saya adalah seseorang yang merasakan ketertarikan romantis


terhadap orang dengan jenis kelamin atau gender lain, tetapi saya mengalami ketertarikan seksual yang berfluktuasi atau terbatas. Namun, dalam penelitian yang ada, saya hanya menemukan


sedikit contoh orang seperti saya. Sebagian besar penelitian tampaknya berfokus pada orang-orang yang benar-benar aseksual, bukan mereka yang ada di area abu-abu. Di media populer,


sosok-sosok aseksual bahkan jarang sekali muncul. Ketika mereka ada sekalipun, mereka sering digambarkan sebagai orang yang aneh, robotik, dan tidak mampu mencintai. Dalam budaya arus utama,


ada juga unsur penyangkalan dengan banyak orang yang percaya bahwa aseksualitas itu mustahil - bahwa mereka yang mengidentifikasi diri sebagai aseksual pasti memiliki sesuatu yang salah


dalam diri mereka, seperti masalah hormonal. Ada anggapan bahwa mungkin mereka hanya “belum menemukan orang yang tepat” saja atau perlu “berusaha lebih keras”. Jadi, penelitian ini lahir


dari pengalaman saya sebagai orang yang berada dalam spektrum aseksual. Karena itulah, sangat penting bagi saya untuk membahas semua orang aseksual yang berbeda di luar sana dan memberikan


suara bagi komunitas saya. Banyak orang aseksual memilih untuk menjalin hubungan; hanya saja mereka mungkin menjalani prosesnya dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa orang mungkin


berpartisipasi dalam hubungan nonmonogami. Yang lain mungkin terpaksa mengungkapkan identitas dan preferensi mereka dengan cara yang berbeda, bertanya-tanya kapan – dan apakah perlu – mereka


membuka diri kepada calon pasangan, karena takut reaksinya akan kurang positif dan menyebabkan kesulitan dalam menjalin hubungan. Namun, banyak orang aseksual mengamini _Split Attraction


Model_, yakni teori yang menunjukkan bagaimana ketertarikan romantis dan seksual merupakan dua pengalaman yang berbeda, dan oleh karena itu, seseorang dapat mengalami seks tanpa cinta dan


cinta tanpa seks. Dengan pemikiran ini, memungkinkan bagi orang aseksual untuk mengidentifikasi diri mereka dengan orientasi romantis dan kemudian mengejar hubungan asmara, karena keduanya


merupakan pengalaman yang berbeda. HUBUNGAN YANG BERPUSAT PADA ASMARA Untuk penelitian kami, kami mencoba memahami pemisahan (_split_) ini. Kami menyurvei 485 orang yang mengidentifikasi


diri mereka berada dalam spektrum aseksual dan pada saat itu berada dalam hubungan romantis. Para partisipan mengidentifikasi diri sebagai heteroromantis (tertarik secara romantis pada lawan


gender), biromantis (tertarik secara romantis pada lebih dari satu gender), homoromantis (tertarik secara romantis pada gender yang sama), panromantis (tertarik secara romantis pada semua


gender atau identitas gender apapun), dan banyak lagi. Ini menunjukkan keragaman yang signifikan di antara corak ketertarikan romantis kelompok ini. Kami kemudian bertanya kepada mereka


tentang kepuasan hubungan mereka, tingkat keterlibatan mereka dalam hubungan, dan bagaimana mereka memandang alternatif-alternatif hubungan di luar hubungan mereka. Selain itu, kami juga


mengeksplor _attachment orientation_ mereka. Hal ini didefinisikan sebagai cara orang mendekati relasi-relasi tedekat mereka. Ini juga biasanya terbentuk pada masa kanak-kanak dan merupakan


pola yang berlanjut hingga dewasa. Orang cenderung menunjukkan suatu “_anxious attachment style_” yang sering ditandai dengan perasaan khawatir akan ditinggalkan dan rasa cemas akan potensi


hilangnya hubungan; suatu “_avoidant attachment style_” yang berarti seseorang mungkin mendorong orang lain menjauh atau takut akan keintiman emosional; atau “_secure attachment style_”


yakni saat orang merasa aman dalam emosi mereka dan dapat mempertahankan hubungan yang bertahan lama. Pada akhirnya, hasil penelitian kami secara umum konsisten dengan penelitian sebelumnya


tentang hubungan dalam segala bentuknya. Seperti halnya hubungan-hubungan tersebut, kami menemukan bahwa orang-orang aseksual yang lebih puas dan lebih menginvestasikan diri, cenderung lebih


berkomitmen dalam hubungan mereka. Ketika mereka tidak mendambakan orang lain atau tidak melihat kesendirian sebagai alternatif yang lebih baik, hubungan mereka cenderung lancar dan


berkembang. Pola-pola _attachment orientation_ yang timbul juga secara umum konsisten dengan penelitian sebelumnya pada kelompok seksualitas lain. Sama seperti studi yang dilakukan terhadap


bentuk hubungan lain, individu aseksual yang menghindar (_avoidant_) secara romantis juga kurang berkomitmen, kurang puas, dan kuran menginvestasikan diri dalam hubungan mereka, sebagaimana


yang bisa dibayangkan. Namun, ada juga beberapa inkonsistensi dengan penelitian sebelumnya. Sebagai contoh, di antara orang-orang aseksual, _anxious attachment style_ sebenarnya berkorelasi


dengan komitmen dan kepuasan yang lebih tinggi. Pada jenis hubungan lainnya, cenderung terjadi hal yang sebaliknya. Meskipun begitu, saya berharap penelitian ini akan membantu menormalisasi


gagasan bahwa orang aseksual bisa saja terlibat dan sukses dalam hubungan romantis. Ternyata orang aseksual dapat mengalami cinta romantis seperti halnya orang dengan orientasi seksual


lainnya: dengan kesempatan yang sama untuk meraih kegembiraan dan perkembangan, tantangan yang sama dalam menghadapi konflik dan kompromi, dan kemungkinan yang sama untuk berkomitmen seumur


hidup. ------------------------- _Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini dari bahasa Inggris._