
- Select a language for the TTS:
- Indonesian Female
- Indonesian Male
- Language selected: (auto detect) - ID
Play all audios:
Pemerintah Indonesia baru saja mengeluarkan kebijakan kontroversial yang membolehkan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus
(WIUPK). Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 25 Tahun 2024 yang diteken Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada akhir Mei lalu. Kebijakan ini mendapat respons cukup beragam.
Kalangan masyarakat sipil seperti Publish What You Pay (PWYP), WALHI, YLBHI, AMAN dan JATAM memberikan kritik keras. Mereka menganggap kebijakan ini berpotensi memperluas korupsi,
memperparah kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dan meningkatkan konflik horizontal. Ormas-ormas keagamaan yang memiliki keterkaitan langsung atas kebijakan ini memiliki sikap berbeda
satu sama lain. Nadhlatul Ulama (NU), misalnya, menyatakan akan memanfaatkan tawaran itu, meski ada beberapa kubu internal yang tampaknya tak nyaman dengan ide ini. Ini sangat berbeda dengan
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang menyatakan tak akan akan mengambil tawaran pemerintah. Sementara itu, Muhammadiyah belum
menyatakan sikap, meski para elitnya menyarankan untuk menolak tawaran tersebut. Di kalangan pemerintah, kebijakan ini juga mengundang pro-kontra. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan
Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, sempat tak sepenuhnya sepakat dengan usulan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia untuk memberikan konsesi tambang pada ormas keagamaan.
Sementara itu, pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar yang menyebut “Daripada ormasnya setiap hari _nyariin_ proposal, mengajukan proposal, kan lebih baik
ormas mengelola dengan sayap bisnis yang rapi dan tetap profesional”, tidak didukung argumentasi yang kuat dan cenderung memberikan kesan negatif tentang perilaku ormas. Aturan ini perlu
disikapi dengan bijak, terutama menyangkut kapasitas ormas dalam mengelola pertambangan, agar tak membuka peluang korupsi di sektor yang telah mendapat persepsi miring dari masyarakat,
hingga nantinya malah melukai nama baik ormas keagamaan. KAPASITAS ORGANISASI KEAGAMAAN Penawaran konsensi tambang memunculkan pertanyaan kritis, apakah ormas keagamaan memiliki kapasitas
yang cukup untuk berbisnis pertambangan? Untuk menjawab pertanyaan itu, penting untuk kita mengidentifikasi kapasitas yang wajib dimiliki oleh pebisnis tambang. Setidaknya ada tiga variabel
penting yang wajib dimiliki oleh pebisnis tambang. Pertama, modal finansial. Aktivitas penambangan merupakan kegiatan yang padat modal. Artinya mustahil bagi suatu entitas untuk bisa
mengelola tambang secara profesional tanpa kekuatan finansial yang mencukupi, kecuali hanya menjadi agen alias perantara untuk kelompok lain menguasai suatu konsesi pertambangan. Salah satu
temuan dari riset kami terdahulu, yang telah diadaptasi dan diterbitkan oleh _The Conversation Indonesia_, menemukan adanya praktik _shadow beneficial ownership_ melalui agen dalam
penambangan nikel di Sulawesi Tengah. _Shadow beneficial ownership_ mengacu pada situasi ketika pemilik sebenarnya dari perusahaan pertambangan bersembunyi di balik lapisan badan hukum.
Akibatnya, kita sulit menentukan siapa yang pada akhirnya mengendalikan atau mengambil keuntungan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Kurangnya transparansi dapat memicu praktik korupsi,
aliran keuangan gelap, dan konflik kepentingan, terutama jika melibatkan orang-orang yang mempunyai hubungan politik. Dalam temuan kami, para pengusaha, pejabat pemerintahan, dan politisi
acap menjadi “pemilik bayangan” atas suatu izin tambang karena memiliki kekuatan finansial. Praktik mereka kemudian dimanfaatkan para agen yang tidak memiliki modal untuk menambang tetapi
mengetahui informasi lapangan dan memiliki jaringan dengan otoritas lokal. Peran agen ini dijalankan oleh para mantan aktivis, oknum pengacara, elit desa, anggota organisasi
sosial/keagamaan, dan tokoh masyarakat. Nah, pelibatan organisasi keagamaan dalam mengelola wilayah pertambangan jangan sampai menjerumuskan ormas keagamaan sebagai agen para pemilik modal.
Ini berisiko mengecilkan wibawa organisasi dan menggerus kepercayaan masyarakat. Kedua, keahlian profesional. Sektor pertambangan membutuhkan keahlian bidang geologi, teknik pertambangan,
fisika, lingkungan, biologi, kimia, dan lainnya. Keterlibatan para ahli meningkatkan peluang kelancaran penambangan dan eksplorasi, sekaligus mengurangi risiko kecelakaan bagi pekerja
pertambangan dan bencana bagi masyarakat sekitar. Tentunya tak sulit bagi ormas keagamaan besar seperti NU, Muhammadiyah, dan PGI untuk menemukan anggotanya yang ahli di sektor pertambangan.
Namun, perlu dipastikan betul apakah kader-kader tersebut mau bekerja untuk ormas dengan mengesampingkan kepentingan individu mereka. Ketiga, keunggulan teknologi. Penambangan membutuhkan
teknologi yang tak hanya penting untuk meningkatkan efisiensi dan memberikan nilai tambah, tapi juga meredam risiko bagi pekerja dan lingkungan. Perlu menjadi perhatian bahwa, berdasarkan
analisis Katadata, tingkat korban kecelakaan kerja di sektor pertambangan cenderung meningkat selama sembilan tahun terakhir (2015-2023). Bahkan, angkanya sempat meloncat hingga tiga kali
lipat dalam setahun dari 104 kasus (11 di antaranya membawa korban jiwa) pada 2021 menjadi 378 (42 dengan korban jiwa) pada 2022. Kecelakaan kerja di perusahaan pertambangan salah satunya
dipicu oleh penggunaan teknologi yang usang. Selain itu, di wilayah-wilayah pertambangan, keterbatasan dan ketertinggalan teknologi menjadi pemicu pencemaran air dan udara yang berakibat
pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat sekitar. Namun, menghadirkan teknologi membutuhkan modal yang tidak sedikit. Oleh karena itu, maka pernyataan Luhut Binsar Panjaitan soal
“pertambangan butuh modal tak kecil” dalam sebuah wawancara yang dilakukan Majalah Tempo ada benarnya. Penting bagi ormas keagamaan untuk memahami kenyataan ini. ------------------------- _
READ MORE: RISET TEMUKAN BAGAIMANA ELIT MERAUP CUAN DARI SENGKARUT TATA KELOLA NIKEL SULAWESI TENGAH _ ------------------------- _STATE CAPTURE CORRUPTION_ TATA KELOLA PERTAMBANGAN Selain
perkara kemampuan, pemberian izin tambang ke ormas keagamaan berpotensi memperpanjang _state capture corruption_ dalam pengelolaan pertambangan. Secara sederhana, _state capture corruption_
adalah praktik korupsi melalui peraturan perundang-undangan. Dalam praktik ini, kelompok tertentu menguasai institusi negara (pembuat peraturan). Mereka kemudian memengaruhi pembuatan
peraturan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Apalagi, bermunculan pendapat bahwa bagi-bagi jatah tambang ke ormas keagamaan ini punya motif balas budi usai Pemlihan Umum 2024. Jika
anggapan ini benar, praktik _state capture corruption_ berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi negara dan mengorbankan masyarakat luas. Risiko tersebut bukan tanpa bukti. Ada beberapa
contoh kejadian di Indonesia ketika kebijakan pertambangan yang kurang tepat memicu kerugian negara dan lingkungan. Pertama, Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26
Tahun 2018, yang memberi celah kepada perusahaan yang sudah pernah dicabut oleh pemerintah untuk dihidupkan kembali melalui pendapat hukum (_legal opinion_) dari ahli hukum atau pengacara.
Menariknya, penerbitan _legal opinion_ ini tidak gratis. Hasil investigasi Majalah Tempo, menemukan adanya praktik suap miliaran rupiah dalam proses penerbitan pendapat hukum tersebut.
Peraturan ini memang sudah dicabut. Namun, efeknya memunculkan aktivitas penambangan yang tidak sesuai dengan izin dan peta lokasi izin. Aktivitas bermasalah ini berpotensi menghilangkan
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kedua, kasus korupsi yang melibatkan mantan pejabat Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara. Kasus ini berawal dari
keputusan rapat terbatas penyederhanaan aspek penilaian Rencana Kerja Anggaan dan Biaya (RKAB) perusahaan pertambangan. Penyederhanaan penilaian termaktub dalam Keputusan Menteri ESDM No.
1806 K/30/MEM/2018. Kebijakan penyederahanaan RKAB ini mendorong terjadinya praktik jual beli dokumen dan aktivitas penambangan ilegal di Blok Mandiodo. Kerugian negara akibat praktik
lancung tersebut ditaksir mencapai Rp 5,3 triliun. Aktivitas pertambangan ilegal ini juga menyebabkan kerusakan lingkungan dan infrastruktur, hilangnya hutan, serta memicu bencana banjir
yang membawa kerugian bagi masyarakat sekitar. 4 LANGKAH PERBAIKAN Aktivitas pertambangan yang buruk telah memicu kerusakan lingkungan, yang membutuhkan biaya yang mahal dan waktu yang
panjang untuk memulihkannya. Berangkat dari itu, pemerintah perlu membuat kebijakan untuk menghentikan dan memulihkan kerusakan, bukan sebaliknya. Setidaknya ada empat langkah perbaikan yang
perlu dilakukan pemerintah. Pertama, Berangkat dari itu, pemerintah sepatutnya mengkaji ulang—bahkan mencabut—aturan yang membolehkan organisasi keagamaan untuk memiliki konsensi tambang
penting untuk dievaluasi. Pencabutan ini dapat menghindarkan organisasi keagamaan tersangkut kasus korupsi. Independensi ormas keagamaan dalam pengawasan penyelenggaraan negara juga dapat
terjaga. Kedua, mendorong keterpaduan kebijakan dan sinergitas kelembagaan. Kebijakan terpadu sangat penting untuk dipikirkan mengingat seringkali peraturan yang dibuat pemerintah saling
tumpang tindih, misalnya antara Kementerian Investasi dan Kementerian ESDM. Selain itu, lembaga negara juga perlu bekerja sama untuk mendorong aktivitas pertambangan yang baik. Upaya suatu
lembaga untuk menciptakan kedaaan yang lebih baik harus mendapat dukungan dari lembaga lainnya. Ketiga, meningkatkan partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan, pengambilan
keputusan, dan pengawasan proses pertambangan. Keempat, menerapkan transparansi dalam tata kelola pertambangan. Langkah keterbukaan yang dilakukan Kementrian ESDM untuk menampikan peta
aktivitas pertambangan melalui Minerba One Map Indonesia dapat menjadi mata publik untuk mengawasi aktivitas pertambagan, perlu dipertahankan dan ditingkatkan