
- Select a language for the TTS:
- Indonesian Female
- Indonesian Male
- Language selected: (auto detect) - ID
Play all audios:
Ketersediaan akses internet yang melimpah sangat memanjakan setiap orang. Kita dapat mengakses apa saja dengan gawai masing-masing, termasuk akses informasi. Kemudahan dalam menerima
informasi inilah yang kini menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, internet mempercepat distribusi informasi kepada khalayak, namun di lain pihak jadi ladang subur lahirnya berita bohong
atau hoax.
Menjamurnya hoax sering mengacaukan pikiran kita. Jika tak teliti, kita dapat dengan mudah ditipu olehnya. Organisasi non-profit First Draft mencatat setidaknya ada tujuh jenis mis-informasi
serta disinformasi yang marak beredar di dunia maya. Apa saja itu?
Satir merupakan konten yang dibuat sebagai sindiran pada pihak tertentu. Konten yang dimuat dikemas dalam unsur parodi, ironi bahkan sarkasme. Umumnya, satir dibuat sebagai bentuk kritik
pada individu atau kelompok atas berbagai masalah yang sedang terjadi.
Satir termasuk dalam konten yang tidak membahayakan. Namun, tak jarang pembaca justru menganggapnya sebagai sebuah hal seirus. Alhasil, banyak yang tertipu dan meyakini konten satir adalah
suatu kebenaran.
Misleading content atau konten menyesatkan adalah penggunaan informasi untuk membingkai suatu isu atau pihak. Konten semacam ini dibuat secara sengaja dan diharapkan dapat menggiring opini
sesuai dengan kehendak pembuat informasi. Misleading content terjadi dengan cara memanfaatkan informasi asli seperti gambar, pernyataan resmi atau statistik namun diedit dan tidak
dihubungkan dengan konteks aslinya.
Kasus anak kejang-kejang di Magelang adalah contohnya. Video yang beredar memang menunjukkan seorang anak yang sedang berada di puskesmas. Namun, dokter yang ketika itu menangani tidak
mengeluarkan rujukan dengan diagnosa kecanduan game. Hal ini berbeda dengan postingan salah satu akun Facebook yang memakai video tersebut. Alhasil, pihak puskesmas melalui surat resmi
mengimbau untuk tidak menyebarkan informasi tidak benar tersebut.
Sesuai dengan namanya, false context menggunakan informasi asli namun disebar dalam konteks yang keliru. Umumnya, informasi yang dipakai adalah pernyataan, foto atau video peristiwa yang
pernah terjadi pada suatu tempat namun konteks yang ditulis tidak sesuai dengan realita. Ini terjadi lantaran karena jurnalistik yang buruk atau untuk mendorong opini khalayak.
Sebagai contoh, dalam cuitan salah satu akun Twitter tertulis narasi yang mempertanyakan kesiapan Brimob untuk mengamankan kondisi di Papua dilengkapi dengan video. Namun, penelusuran Turn
Back Hoax justru menemukan fakta bahwa video yang digunakan adalah kejadian bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa pada 2006 di halaman kampus Universitas Cendrawasih. Jelas berbeda dari
narasi yang ditulis oleh akun tersebut.
Selain false context, ada pula false connection yang memakai caption, judul, atau sumber visual yang tidak sesuai dengan konten tulisan. Berita bohong semacam ini biasanya dimanfaatkan untuk
memperoleh keuntungan berupa profit atau ekspos berlebih dari konten sensasional. Kasus domba ini jadi salah satunya.
Didasarkan pada temuan Turn Back Hoax, cuitan salah satu akun Twitter terbukti melakukan false connection dengan menggunakan video domba Beltex yang dicukur bulunya sebagai hewan kloning
bernama Khanzarof. Sangat berbeda dari fakta bahwa domba Beltex berasal dari Selandia Baru dan mendapatkan suntikan otot ganda texel dari Belgia. Duh, ada-ada saja!
Sesuatu yang berbau tiruan juga merambah pada ranah informasi. Konten tiruan atau imposter content mendompleng ketenaran suatu pihak. Mereka membuat tiruan yang terlihat seolah asli agar
dapat menipu masyarakat. Sudah banyak kasus semacam ini mencatut lembaga atau perusahaan resmi. Salah satunya dialami GOJEK.
Startup layanan transportasi ini dicatut namanya oleh pihak tak bertanggung jawab dalam layanan berbagi pesan. Peniru mengatasnamakan GO-JEK mengirimkan pesan berupa tautan voucher Gopay.
Pihak GO-JEK sendiri telah membantah sedang mengadakan event bagi-bagi voucher dan meminta masyarakat waspada terhadap akun tiruan.
Kecanggihan teknologi memungkinkan sebuah informasi asli dimanipulasi untuk mengelabui bahkan memprovokasi pembaca agar percaya pada konten yang dibuat. Peristiwa semacam ini sering menimpa
media-media besar yang beritanya disunting oleh tangan-tangan usil.
Penelusuran Turn Back Hoax lagi-lagi menemukan hal tersebut. Sebuah akun Facebook mengunggah potongan gambar judul berita beserta penulisnya. Setelah diselidiki, ternyata itu merupakan hasil
edit dari artikel asli salah satu portal berita. Waduh, meresahkan sekali ya?
Di antara jenis berita bohong lain, fabricated content termasuk konten dengan menciptakan informasi baru yang sama sekali tidak dapat dipercaya. Fabricated content berbahaya bila pembaca
tidak cermat ketika mengakses informasi tersebut. Ada banyak contoh dari fabricated content. Informasi lowongan pekerjaan jadi salah satunya.
Mengatasnamakan salah satu PT Timah, oknum nakal memberikan informasi lowongan pekerjaan lengkap dengan posisi yang dibutuhkan serta alamat e-mail instansi. Namun, pihak perusahaan membantah
informasi tersebut dan menekankan bahwa informasi resmi bisa didapat melalui situs serta sosial media resmi perusahaan milik negara tersebut.
Penyebaran hoax yang kian masif perlu jadi perhatian kita. Sudah sewajarnya kita lebih cermat dalam memilah informasi. Manfaatkan pula sarana cek informasi melalui situs resmi seperti Turn
Back Hoax agar kamu terhindar dari kabar yang tidak jelas kebenarannya.
Ketersediaan akses internet yang melimpah sangat memanjakan setiap orang. Kita dapat mengakses apa saja dengan gawai masing-masing, termasuk akses informasi. Kemudahan dalam menerima
informasi inilah yang kini menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, internet mempercepat distribusi informasi kepada khalayak, namun di lain pihak jadi ladang subur lahirnya berita bohong
atau hoax.
Menjamurnya hoax sering mengacaukan pikiran kita. Jika tak teliti, kita dapat dengan mudah ditipu olehnya. Organisasi non-profit First Draft mencatat setidaknya ada tujuh jenis mis-informasi
serta disinformasi yang marak beredar di dunia maya. Apa saja itu?
Satir merupakan konten yang dibuat sebagai sindiran pada pihak tertentu. Konten yang dimuat dikemas dalam unsur parodi, ironi bahkan sarkasme. Umumnya, satir dibuat sebagai bentuk kritik
pada individu atau kelompok atas berbagai masalah yang sedang terjadi.
Satir termasuk dalam konten yang tidak membahayakan. Namun, tak jarang pembaca justru menganggapnya sebagai sebuah hal seirus. Alhasil, banyak yang tertipu dan meyakini konten satir adalah
suatu kebenaran.
Misleading content atau konten menyesatkan adalah penggunaan informasi untuk membingkai suatu isu atau pihak. Konten semacam ini dibuat secara sengaja dan diharapkan dapat menggiring opini
sesuai dengan kehendak pembuat informasi. Misleading content terjadi dengan cara memanfaatkan informasi asli seperti gambar, pernyataan resmi atau statistik namun diedit dan tidak
dihubungkan dengan konteks aslinya.
Kasus anak kejang-kejang di Magelang adalah contohnya. Video yang beredar memang menunjukkan seorang anak yang sedang berada di puskesmas. Namun, dokter yang ketika itu menangani tidak
mengeluarkan rujukan dengan diagnosa kecanduan game. Hal ini berbeda dengan postingan salah satu akun Facebook yang memakai video tersebut. Alhasil, pihak puskesmas melalui surat resmi
mengimbau untuk tidak menyebarkan informasi tidak benar tersebut.
Sesuai dengan namanya, false context menggunakan informasi asli namun disebar dalam konteks yang keliru. Umumnya, informasi yang dipakai adalah pernyataan, foto atau video peristiwa yang
pernah terjadi pada suatu tempat namun konteks yang ditulis tidak sesuai dengan realita. Ini terjadi lantaran karena jurnalistik yang buruk atau untuk mendorong opini khalayak.
Sebagai contoh, dalam cuitan salah satu akun Twitter tertulis narasi yang mempertanyakan kesiapan Brimob untuk mengamankan kondisi di Papua dilengkapi dengan video. Namun, penelusuran Turn
Back Hoax justru menemukan fakta bahwa video yang digunakan adalah kejadian bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa pada 2006 di halaman kampus Universitas Cendrawasih. Jelas berbeda dari
narasi yang ditulis oleh akun tersebut.
Selain false context, ada pula false connection yang memakai caption, judul, atau sumber visual yang tidak sesuai dengan konten tulisan. Berita bohong semacam ini biasanya dimanfaatkan untuk
memperoleh keuntungan berupa profit atau ekspos berlebih dari konten sensasional. Kasus domba ini jadi salah satunya.
Didasarkan pada temuan Turn Back Hoax, cuitan salah satu akun Twitter terbukti melakukan false connection dengan menggunakan video domba Beltex yang dicukur bulunya sebagai hewan kloning
bernama Khanzarof. Sangat berbeda dari fakta bahwa domba Beltex berasal dari Selandia Baru dan mendapatkan suntikan otot ganda texel dari Belgia. Duh, ada-ada saja!
Sesuatu yang berbau tiruan juga merambah pada ranah informasi. Konten tiruan atau imposter content mendompleng ketenaran suatu pihak. Mereka membuat tiruan yang terlihat seolah asli agar
dapat menipu masyarakat. Sudah banyak kasus semacam ini mencatut lembaga atau perusahaan resmi. Salah satunya dialami GOJEK.
Startup layanan transportasi ini dicatut namanya oleh pihak tak bertanggung jawab dalam layanan berbagi pesan. Peniru mengatasnamakan GO-JEK mengirimkan pesan berupa tautan voucher Gopay.
Pihak GO-JEK sendiri telah membantah sedang mengadakan event bagi-bagi voucher dan meminta masyarakat waspada terhadap akun tiruan.
Kecanggihan teknologi memungkinkan sebuah informasi asli dimanipulasi untuk mengelabui bahkan memprovokasi pembaca agar percaya pada konten yang dibuat. Peristiwa semacam ini sering menimpa
media-media besar yang beritanya disunting oleh tangan-tangan usil.
Penelusuran Turn Back Hoax lagi-lagi menemukan hal tersebut. Sebuah akun Facebook mengunggah potongan gambar judul berita beserta penulisnya. Setelah diselidiki, ternyata itu merupakan hasil
edit dari artikel asli salah satu portal berita. Waduh, meresahkan sekali ya?
Di antara jenis berita bohong lain, fabricated content termasuk konten dengan menciptakan informasi baru yang sama sekali tidak dapat dipercaya. Fabricated content berbahaya bila pembaca
tidak cermat ketika mengakses informasi tersebut. Ada banyak contoh dari fabricated content. Informasi lowongan pekerjaan jadi salah satunya.
Mengatasnamakan salah satu PT Timah, oknum nakal memberikan informasi lowongan pekerjaan lengkap dengan posisi yang dibutuhkan serta alamat e-mail instansi. Namun, pihak perusahaan membantah
informasi tersebut dan menekankan bahwa informasi resmi bisa didapat melalui situs serta sosial media resmi perusahaan milik negara tersebut.
Penyebaran hoax yang kian masif perlu jadi perhatian kita. Sudah sewajarnya kita lebih cermat dalam memilah informasi. Manfaatkan pula sarana cek informasi melalui situs resmi seperti Turn
Back Hoax agar kamu terhindar dari kabar yang tidak jelas kebenarannya.