Rekonstruksi kasus klinik aborsi: ada 63 adegan dalam 4 tahapan


Play all audios:

Loading...

jpnn.com, JAKARTA - Polda Metro Jaya baru saja melakukan rekonstruksi kasus aborsi ilegal di salah satu klinik yang berlamat di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat, Jumat (25/9) sore.


Wakil Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya AKBP Jean Calvijn Simanjuntak mengungkapkan, terdapat 63 adegan dalam rekonstruksi itu. "Hasil dari rekonstruksi hari ini 63 adegan yang


disajikan oleh penyidik untuk penyusaian fakta di lapangan dengan hasil pemeriksaan para saksi, para tersangka, dan barang bukti yang ada," ujar Calvijn. Lebih lanjut Calvijn memerinci,


ada lima tempat kejadian perkara (TKP) dalam kasus tersebut. Namun, rekonstruksi difokuskan di satu lokasi saja, yakni rumah yang dijadikan praktik aborsi ilegal. Calvijn memaparkan,


rekonstruksi yang mencakup 63 adegan itu terbagi ke dalam empat tahapan, yakni perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penghilangan barang bukti. "Tahap perencanaan ini adalah


bagaimana tersangka RS merencanakan aborsi bersama pacarnya. Kemudian tahap persiapan yaitu mencari lokasi klinik untuk melakukan praktik aborsi," katanya. Adapun pada tahap


pelaksanaan, para tersangka melakukan tindakan aborsi di klinik. Adapun tahap terakhirnya ialah penghilangan barang bukti. "Yakni bagaimana tersangka DK membuang gumpalan darah hasil


aborsi ini ke dalam toilet," jelas Calvijn. Baca Juga: Sebelumnya Subdit IV Jatanras Polda Metro Jaya menangkap 10 pelaku praktik aborsi ilegal di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta


Pusat.Para tersangka dalam kasus itu ialah DK, LA, NA, MM, YA, RA, ML, ED, SM dan RS. DK merupakan dokter yang melakukan aborsi. Adapun LA merupakan pemilik klinik, sedangkan NA menjadi


kasir sekaligus penerima pasien. Peran tersangka lainnya ialah YA yang melakukan ultrasonografi (USG). Lalu ada YA sebagai pembantu dokter di ruang aborsi, sedangkan RA menjadi penjaga


klinik. Baca Juga: Selanjutnya ada SM yang melayani pasien, sedangkan ED sebagai petugas kebersihan. Terakhir ialah RS sebagai pasien yang baru saja diaborsi ketika ditangkap polisi. Polisi


menjerat para tersangka tersebut dengan Pasal 346 KUHP dan atau Pasal 348 ayat (1) KUHP dan atau Pasal 194 juncto Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Ancaman


hukuman maksimalnya ialah penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.(MCR4/JPNN)